Malam itu, kita tak sempat bercakap banyak. yang ku ingat dia harus lekas pergi dan hingga saat ku tulis surat ini tak ada sepatahpun kabar yang terbalas. puluhan surat telah ku tulis, dan ini adalah surat ke 24 semenjak malam kepergiannya.
Teruntuk yang ku rindukan,
maaf jika kedatangan surat ini adalah lancang.
malam ini hujan tak henti berjatuhan, membesar, mengecil, berteman angin kencang, kadang kilat menyambar-nyambar dan itu menambah kekhawatiranku akan dirimu yang sedari itu tak terdengar kabar.
Di malam yang penuh kerinduan,
entah mengapa tiba-tiba dalam fikirku ku terbersit kata-kata seorang penyair muda tentang sisi lain dari mata uang yang sama. tentang jarak dan perbedaan, mereka mewacanakan tentang jarak karna mereka tak faham, mereka tak bisa saling melihat karna mereka sudah menyatu. ya hakikat dari sisi lain sang mata uang.
Yang sedari itu ku rindukan,
mungkin terlalu berbelit, sebenarnya aku ingin mengatakan ini dengan lantang, namun nyatanya hanya dapat di wakilkan susunan tinta hitam dalam secarik kertas buram.
Betapa aku merasakan beda atas kepergianmu malam itu, merasakan gundah atas kabar yang lenyap, dan hilang. di setiap langit malam ingin ku tuliskan betapa aku merindukanmu, betapa aku merindukanmu, tiada henti. agar semua tau, begitupun kamu.
Yang benar-benar kurindukan,
ada yang bergetar begitu kencang, ketika ada tangan yang di ulurkan untuk sekedar menguatkan langkahku yang mulai melemah, atau sekedar memberikan air karna faham aku mulai kehausan. bahkan aroma jaket yang di pasangkan saat aku hampir beku mengigil kedinginan masih melekat disini, menusuk tembus hingga kedalam sukma. kita terlalu sering tertawa bersama, kelelahan bersama, menghabiskan malam bersama hanya untuk menikmati cahaya bulan di balik tirai tenda. kita terlalu lama bercerita, hingga kita tak saling melihat cinta, tak dapat meraba rasa, mungkin cinta kita adalah sisi lain dari mata uang yang sama.
Yang sedang sangat di rindukan,
dapatkah kamu membaca itu, dalam gerak tanpa bahasa? dalam isyarat yang terbata-bata? datanglah hanya untuk sekedar memberikan kabar, atau seperti perhatian yang sebelumnya biasa kau lakukan, sekedar mengingatkanku untuk tidak telat makan.
Yang Pantaskah di rindukan.
semoga kita benar seperti dua sisi dari mata uang seperti yang penyair itu katakan. tak dapat terpisahkan.
yang merindukanmu. Selalu
lalu semakin terasa sedu-sedan, tanganku masih bergetar, tetesan airmata berjatuhan memudarkan beberapa bagian tulisan. bukan tentang rindu lagi. mungkin tentang takdir klasik para pecinta dalam diam.
surat di lipat rapi dan di masukan kedalam amplop dan di simpannya kedalam kotak yang berisi susunan 23 surat lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar